Harajuku, sebuah kawasan kecil di tengah metropolitan Tokyo. Sebuah kawasan yang riang, disesaki oleh toko-toko dan para pemberontak busana yang dalam bahasa positifnya disebut “trend setter“. Mbedal, tak tunduk pada aturan tak tertulis, menyegarkan. Busana yang sangat tidak Jepang tetapi di saat yang bersamaan, sangat Jepang, belum pernah saya melihat yang begini dilakukan di tempat lain kecuali oleh para peniru … para Harajuku wannabe. Ada kesinisan dan keinginan yang sangat kuat untuk menertawakan tradisi. Tidak lagi seganas masa jayanya di tahun 80-90-an memang, tetapi Harajuku toh masih saja menjadi ikon pemberontakan gaya busana di Jepang.
Dalam hal berbusana, keseragaman adalah hal yang menjadi pemandangan sehari-hari di Tokyo, terutama di hari-hari kerja. Para pegawai kantoran (salary man) berdandan ala Man in Black minus kacamata hitamnya. Jas gelap, celana gelap, berbaju putih dengan dasi gelap, menenteng tas, rambut tersisir rapi, dengan gaya jalan seperti sedang dikejar demit. Anak sekolah, dasar dan menengah, tentu saja berseragam walaupun pada para pelajar putri sekolah menengahnya ada variasi yang besar dalam hal jarak ujung rok dengan dengkul. Seragam Sailor Moon. Sebuah bentuk pemberontakan kecil kepada lembaga pendidikan? entahlah.
Harajuku adalah tempat pelarian, begitu keyakinan saya. Tidak akan ada atasan atau guru yang akan melotot berang pada tata rambut meriah semau pemiliknya, busana bernuansa gothic, cinderella berwajah drakula bersepatu boot high heels untuk mendongkrak tinggi badan. Keinginan berkreasi dengan busana dan tata wajah bisa diumbar. Hanya saja, ke-Jepangannya masih menempel lekat. Begitu waktu kerja datang, bersalin rupalah mereka. Bukan wajah asli yang ditampilkan, justru topeng yang muncul. Wajah aslinya disimpan dahulu, untuk dipakai pada waktu yang lain.
Dalam hal berbusana, keseragaman adalah hal yang menjadi pemandangan sehari-hari di Tokyo, terutama di hari-hari kerja. Para pegawai kantoran (salary man) berdandan ala Man in Black minus kacamata hitamnya. Jas gelap, celana gelap, berbaju putih dengan dasi gelap, menenteng tas, rambut tersisir rapi, dengan gaya jalan seperti sedang dikejar demit. Anak sekolah, dasar dan menengah, tentu saja berseragam walaupun pada para pelajar putri sekolah menengahnya ada variasi yang besar dalam hal jarak ujung rok dengan dengkul. Seragam Sailor Moon. Sebuah bentuk pemberontakan kecil kepada lembaga pendidikan? entahlah.
Harajuku adalah tempat pelarian, begitu keyakinan saya. Tidak akan ada atasan atau guru yang akan melotot berang pada tata rambut meriah semau pemiliknya, busana bernuansa gothic, cinderella berwajah drakula bersepatu boot high heels untuk mendongkrak tinggi badan. Keinginan berkreasi dengan busana dan tata wajah bisa diumbar. Hanya saja, ke-Jepangannya masih menempel lekat. Begitu waktu kerja datang, bersalin rupalah mereka. Bukan wajah asli yang ditampilkan, justru topeng yang muncul. Wajah aslinya disimpan dahulu, untuk dipakai pada waktu yang lain.
Piranti bersalin rupa begini juga banyak ditemukan di Harajuku, dari mulai rambut imitasi warna-warni, kuku tempel, cat muka, busana ultra negong, tato tempelan, butiran plastik kerlip-kerlip, hingga gigi drakula. Soal harga, aneka rupa tentu saja. Para penjaga tokopun dituntut untuk dapat menjadi konsultan busana. Baguskah jangkar kapal ini dipadu dengan stocking merah jambu?
Lantas dari mana energi untuk lepas dari kelaziman itu didapat? Bisa jadi dari kekangan, begitu kata seorang teman. Kekangan waktu boleh jadi merupakan sumbat dari keinginan. Keinginan yang ditumpuk itu harus bersabar menanti saatnya untuk dilepaskan. Belum waktunya, sekarang adalah waktunya menghadiri rapat. Tidak ada kata terlambat hadir, karena kereta api di Tokyo berpresisi menit. Ada cerita, jika kereta api tiba di stasiun bukan pada waktunya berdasarkan jam yang sampeyan pakai, maka jam yang sampeyan pakai itu yang salah.
Jadwal keberangkatan dan kedatangan kereta api lantas menjadi semacam metronom yang mengatur irama hidup, dan metronom itu berdetak dengan ketukan yang monoton. Bisa dibayangkan kepanikan mereka jika ada kereta yang harus terlambat datang/pergi beberapa menit saja. Irama jadi rusak. Improvisasi? ndak bisa, karena sekarang bukan waktu dan tempatnya untuk berimprovisasi. Improvisasi hanya untuk manusia bebas, waktunya tertentu dan tempatnya di Harajuku.
Lantas dari mana energi untuk lepas dari kelaziman itu didapat? Bisa jadi dari kekangan, begitu kata seorang teman. Kekangan waktu boleh jadi merupakan sumbat dari keinginan. Keinginan yang ditumpuk itu harus bersabar menanti saatnya untuk dilepaskan. Belum waktunya, sekarang adalah waktunya menghadiri rapat. Tidak ada kata terlambat hadir, karena kereta api di Tokyo berpresisi menit. Ada cerita, jika kereta api tiba di stasiun bukan pada waktunya berdasarkan jam yang sampeyan pakai, maka jam yang sampeyan pakai itu yang salah.
Jadwal keberangkatan dan kedatangan kereta api lantas menjadi semacam metronom yang mengatur irama hidup, dan metronom itu berdetak dengan ketukan yang monoton. Bisa dibayangkan kepanikan mereka jika ada kereta yang harus terlambat datang/pergi beberapa menit saja. Irama jadi rusak. Improvisasi? ndak bisa, karena sekarang bukan waktu dan tempatnya untuk berimprovisasi. Improvisasi hanya untuk manusia bebas, waktunya tertentu dan tempatnya di Harajuku.
0 komentar:
Posting Komentar